Saya dan suamiku dijodohkan orang tuaku serta dapat disebut saya menikah sangat cepat. Kami cuma mengenal 2 bulan saja sebelumnya menikah. Sampai kini, kami juga cuma pergi berkenc4n beberapa hari sekali saja.
Sesungguhnya dia miliki tampang yang lumayan, tingginya juga oke. Lantaran saya juga telah tiba di umur yang memanglah telah saatnya menikah, di usiaku yang ke 29 ini saya mulai dijodohkan orang tuaku. Hingga saya berjumpa dia, kami dengan cepat segera jatuh cinta. Kami seumur, tetapitemannya sedikit, apa lagi pekerjaannya juga memang sangat berbeda, dia seseorang dokter kandungan, jadi dia juga kesusahan menemukan pasangan.
Sebelumnya menikah kami juga sering chatting serta telephone, terkadang kami pergi makan atau melihat bioskop sepulang kerja. Meskipun dia orangnya tidak banyak ngomong, namun dia begitu perhatian serta aku begitu tersentuh olehnya, akupun jatuh cinta kepadanya.
Di hari pernikahan kami, semua orang mengatakan selamat dan mendoakan supaya kami bahagia. Saya benar benar terasa sangat beruntung waktu itu. Namun malam itu, dia jadi berlaku begitu dingin padaku, walau sebenarnya aku pikir awalannya sampai kini dia demikian perhatian, dia pastinya akan sangat romantis. Saya bertanya kepadanya, namun dia hanya menjawab, " Saya capek,
saya juga tidak tertarik sama yang begitu, saya sering ketemu bila kerja. " Saya kaget mendengar jawabannya, pada akhirnya malam itu kita tidur masing masing.
Sebelumnya tidur saya bertanya lagi, bila gitu mengapa anda ingin menjalin hubung4n bahkan juga menikahiku? Dia dengan dingin menjawab, " Keluargaku ingin saya cepat cepat menikah. Hal ini buat saya pusing dan stress. " Jadi tujuannya, saya hanya jadi orang yang penuhi keinginan
orang tuanya saja?
Saya tidur dalam kondisi sedih serta marah serta tidak bisa apa apa hari itu. Esok harinya, ia melihat tv hingga jam 12 malam, kemudian naik ke atas ranjang untuk main handphonenya. Sedikitpun juga tidak bicara atau melihatku, hatiku juga telah m4ti serta jelas bila pria ini sedikitpun juga tidak mencintaiku. Saya telah pikirkan banyak alasan untuk bercerai Saya benci dia, saya benci diriku sendiri mengapa ingin menikah dengannya demikian cepat. Saya benarbenar ingin ribut dengannya hari itu, namun saya tau itu tidak ada gunanya. Saya masihlah benarbenar mengharapkan dia bisa
menyebutkan cintanya sama aku.
Di hari ketiga, dia katakan ingin mengajakku bulan madu, namun aku tolak. Aku katakan kita sekalipun tidak ada perasaan apaapa, ingin bulan madu bagaimana? Namun nyatanya dia marah serta pergi keluar kamar tidur di sofa.Karna hal inilah, mertuaku yang tinggal serumah dengan kami jadi ikut bingung, bahkan juga saya mendengar mertuaku menjelekkanku di luar kamar.
Malam itu saya telah tidak tahan ribut dengannya, orang tuanya juga sekalipun tak mencegah kami. Saya membereskan barangku dan pulang kerumah, papanya menyuruhnya mencegahku, tetapi suamiku sedikitpun tidak bergerak. Hingga saya ingin keluar rumah, papanya baru
menyuruhnya mengejarku.
Namun mamanya terlebih berkata, " Buat apa dikejar, biar saja dia pergi tidak usa balik lagi. " Malam itu saya hanya dapat menangis sambil berjalan pulang. Saya tidak bawa dompet serta handphone. Saya benarbenar terasa semua dunia ini meninggalkanku bahkan juga aku tak cukup
mencintai diri sendiri.
Di hari ke empat, kami pun bercerai. Mulai sejak keluar dari rumahnya hari itu, saya sangatlah lega. Saya pikir, meskipun tidak ada cowok yang cinta sama aku, aku dapat mencintai diriku sendiri.
Wanita, tak perlu terburuburu menikah, anda mesti pastikan dia memanglah orang yang tepat. Wanita, tak perlu menikah cuma demi " menikah ", atau anda bakal menyesal di kemudian hari.
Hanya dalam waktu 3 bulan, saya mendengar dia dijodohkan dengan beberapa wanita lain, namun tak ada yang pas. Belakangan ini, dia bahkan mulai mendekatiku lagi serta mohon maaf. Dia membelikanku bunga dan hadiah, bahkan juga menyampaikan menginginkan rujuk kembali. Namun kesempatan ini saya dengan berani menolaknya, namun mamaku menyampaikan bila dia benarbenar
berubah, telah sepantasnya saya berikan dia satu kali lagi kesempatan, tapi aku gimana menyetujui diriku lakukan hal itu? Apa saya memang mesti memberi kesempatan lagi?